SURAH ALI IMRAN
"KELUARGA IMRAN"
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
Ayat 1-10
الم
1. Alif Lam Mim.
Sebagaimana makhluk memiliki struktur tubuh, demikian pula Alquran. Dari ketiadaan, huruf-huruf dalam Alquran mewujud melalui goresan kalam. Huruf-huruf tersebut merupakan pembentuk kata-kata yang selanjutnya membentuk pula kalimat-kalimat dan sekaligus membentuk makna, sebagaimana berbagai jenis makhluk yang terdapat dalam beragam sistem, membentuk suatu makna. Dari Zat Yang Satu terbentuklah beragam wujud makhluk yang menandai keberadaan Sang Sumber yang tak terbatas dan terukur.
اللّهُ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
2. Allah, tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahahidup, Maha Berdiri Sendiri, yang karena-Nya segala sesuatu ada.
Surah ini diawali dengan penegasan tentang hal terpenting dalam penciptaan, yaitu tauhid, keesaan Allah. Alquran menegaskan bahwa hanya ada satu pencipta yang dari-Nya seluruh makhluk berasal. Sifat paling mulia dan gambaran paling agung tentang Sang Pencipta ini adalah bahwa Dia tidak mempunyai teman. Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Pencipta Mutlak.
Sifat Allah lainnya adalah Mahahidup. Kita tidak bisa merasakan hidup dan mati kecuali ada kekuatan bebas, yang selalu mengendalikan hidup dan mati tersebut dalam pengawasan-Nya. Bagaimanakah kita bisa hidup? Hendaknya kita mengembalikan hidup sebagaimana sifat-sifat kita lainnya kepada Yang Mahawujud yang memiliki seluruh sifat-sifat ini. Alasan mengapa seseorang berusaha meman-jangkan umurnya dengan berbagai cara, sebenarnya, disebabkan karena ia menyembahmeski menyimpang sekalipunYang Mahakekal yang berada dalam diri kita. Seluruh sifat berasal dari Allah, yang melalui kemurahan-Nya setiap orang senantiasa diberikan kesempatan untuk belajar dan menyadari diri. Alquran menyatakan, "Seluruh yang ada di langit dan di 'Bumi senantiasa bertasbih kepada Allah, Raja Yang Mahasuci, Yang Mahaperkasa lagi MAllahijaksana" (Q.S. 62: 1).
Sedap zat yang diciptakan di alam ini bertasbih, beribadah, dan memuji sifat-sifat Allah, Penguasa seluruh alam. Setiap orang ingin memiliki sifat-sifat Allah ini, karena manusia menginginkan Allah; meskipun kita telah memiliki Allah dan telah berada dalam pengawasan-Nya. Tak ada tempat berpaling dari Yang Mahawujud ini; tak ada tempat berpaling dari hukum-hukum Allah yang merupakan manifestasi dari sifat-sifat-Nya.
Terserah pada kita apakah ingin merasakan hukum-hukum Allah itu, tidak dalam bentuk yang dualistis ataupun terpisah-pisah, namun sebagai sebuah totalitas, hingga kita tidak melihat sesuatupun kecuali Allah yang mewujudkan diri-Nya melalui berbagai sifat-sifat-Nya ataupun tidak. Jika suatu peristiwa kelihatannya tidak selaras, kita hanya perlu merenungkan penyebabnya untuk memahami peristiwa tersebut. Jika peristiwa itu cocok dengan keadaannya, berarti ia telah sesuai dengansunnatullah. Seandainya saja kita mau berpikir, mendengar, dan melihat secara benar dan wajar, maka segala sesuatu di sekeliling kita akan bisa dipahami. Apa pun yang tampaknya tidak bisa dipahami, jika diteliti lebih mendalam, akan tersingkaplah makna batiniahnya.
Setiap sebab memiliki akibat, dan setiap akibat berasal dari suatu sebab, kecuali Sang Sumber Yang Maha Esa, Allah. Allah adalah Zat Yang Maha Berdiri Sendiri, terlepas dari hukum sebab-akibat. Segala sesuatu selain Allah tunduk cerhadap sunnatullah yang mudah dipahami ini. Seluruh makhluk berasal dari satu sumber, dari suatu sebab yang meliputi dan mengendalikan seluruhnya tanpa ternoda, tersentuh, ataupun terpengaruh oleh makhluk-makhluk tersebut. Inilah teka-teki yang di dalamnya kita dilahirkan dan diberikan umur dalam hidup ini untuk menyelesaikan teka-teki tersebut. Pemecahannya kita peroleh pada saat hidup kita berakhir kelak.
Dengan menyerahkan dan melamtkan jiwa kita dalam kebenaran yang terletak di dalam diri kita sendiri, kita akan dapat menyatukan seluruh amal dan niat kita. Selanjutnya kita akan menyadari bahwa setiap peristiwa selalu diliputi rahmat Allah, sehingga hal ini semakin menambah keyakinan kita terhadap jalan kebenaran ini. Dengan keyakinan ini, iman kita semakin bertambah, dan kita akan sampai pada kesadaran bahwa hidup ini adalah sebuah pancaran yang menunjukkan sumber dan tempat kembalinya. Maka, hidup kemudian menjadi sebuah pengalaman yang perlu dihargai dan dihormati, karena manusia menghormati Sang Pemberi hidupnya. Hidup tidak dapat dipahami kecuali ia diletakkan secara nyata dalam perspektif yang benar. Hidup hanyalah latihan dasar yang melaluinya manusia dapat mengetahui makna ungkapan, "Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang MAllahidup, Maha Berdiri Sendiri, yang karena-Nya seluruh makhluk hidup."
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإِنجِيل
3. Dia telah menurunkan Alquran kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya; dan Dia menurunkan Taurat dan Injil.
Dalam ayat ini Allah menyapa Nabi Muhammad dan seluruh pengikutnya. Alquran yang diturunkan kepada Muhammad memperkuat kebenaran kitab-kitab sebelumnya, yaitu Taurat dan Injil. Risalah dari kitab-kitab samawi berasal dari satu sumber yang sama, meskipun diturunkan pada waktu yang berbeda-beda, untuk peradaban dan budaya yang berbeda pula. Kitab Nabi Musa dan Nabi Isa hanyalah cocok untuk masanya, dan ajaran Nabi Isa menggantikan ajaran yang masih tersisa dari tradisi lisan Talmud kaum Yahudi.
Alquran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad menggantikan seluruh ajaran samawi terdahulu. Ia merupakan risalah terakhir, karena ia mencakup seluruh kesadaran kenabian. Bahasa Arab Alquran dan mata rantai pengajarannya menegaskan keotentikan dan keterpeliharaannya. Upaya-upaya untuk menafsirkan Alquran dan sunah Nabi untuk membenarkan prasangka pribadi, atau menguatkan perbuatan salah, terus berianjut. Meskipun demikian, Islam senantiasa terpelihara sebagaimana aselinya dan tingkah laku kaum muslim yang menggunting dalam lipatan ini selalu dapat dideteksi oleh siapa pun yang telah diberikan cahaya Islam.
مِن قَبْلُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَأَنزَلَ الْفُرْقَانَ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِ اللّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ
4. Sebelum itu, sebagai petnnjuk bagi manusia, dan Dia menuninkan Kitab Pembeda. Sesungguhnya, orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan mem-peroleh siksa yang berat. Dan Allah Mahaperkasa, Maha Pembalas.
Alquran memiliki beberapa nama, dua di antaranya adalah "al-Kitab" (al-kitab) dan "Pembeda" (al-furqan). Alquran, kitab pengetahuan dan pernahaman, didasarkan atas pembedaaan antara yang hak dan yang batil. Dengan membaca kitab ini, kita belajar membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang kekal dan yang sementara.
Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan tentang Allah merupakan prioritas paling utama. Siapa pun yang mengingkari ayat-ayat Allah, siapa pun yang mengingkari bukti adanya Sang Pencipta, siapa pun yang mengingkari adanya saling ketergantungan segala sesuatu di alam ini, siapa pun yang mengingkari kekuasaan tunggal yang melahirkan beraneka ragam wujud, dan siapa pun yang secara terang-terangan menentang nilai-nilai atau sifat-sifat-Nya, berarti ia berada dalam keadaan menderita dan kesakitan, yaitu, memperoleh " siksa yang pedih" (adzab syadid). Kebodohan merupakan pangkal dari seluruh penderitaan. Ketika alasan di balik suatu peristiwa diketahui, maka serta merta perasaan lega dan tenang akan terasa, meskipun akar masalahnya belum terselesaikan. Melalui pengetahuan yang menyeluruh tentang peristiwa tersebut itulah, kepasrahan akan muncul, dan dengan kepasrahan inilah perbuatan positif yang berbuah kebaikan akan dapat dilaksanakan.
Pernahaman dan kepasrahan merupakan aspek-aspek pembeda, aspek dari kesadaran akan hakikat sesuatu. Jika seseorang gagal melihat benang merah di balik berbagai peristiwa yang teqadi, maka akibatnya adalah penderitaan, kesulitan, dan musibah yang berkepanjangan.
إِنَّ اللّهَ لاَ يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ
5. Sesungguhnya tak ada sesuatupun di Bumi maupun di langit yang tersembunyi di badapan Allah.
Zat Yang Mahahidup, Yang Maha Berdiri Sendiri (al-hayy al-qayyum), juga Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Mengetahui. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi di hadapan Allah. Bagaimana mungkin seseorang dapat berpaling hingga meyakini bahwa Allah dan makhluk-Nya tidak ada? Di manakah ia dapat bersembunyi dari zat yang memberikan kehidupan kepadanya? Kemanapun ia pergi, sistem penunjang hidupnya selalu menyertainya. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa ia tidak mengetahui Allahdi tempat manakah Allah tidak ada? Jawabannya tentu tempat semacam itu tidak ada. Siapa pun yang menyadari kenyataan ini akan mengetahui bahwa kemana pun seseorang menghadap selalu acla wajah Allah. Jika seseorang senantiasa menyadari bahwa Allah melihat apa yang ada di dalam hatinya, maka secara alami ia akan bekerja keras untuk membersihkan hatinya. la akan berusaha menyingkap tabir yang ada di dalam hatinya sehingga hatinya tersebut dapat diberikan secara ihklas seluruhnya untuk Allah, karena tak ada yang lebih menyucikan hati kecuali membuka hati tersebut kepada orang yang mau mendengarkan.
Kemunafikan seseorang yang mengetahui bahwa tak ada sesuatupun yang tersembunyi di hadapan Allah akan terkikis dengan paparan yang terus-menerus dengan ilmu dan cahaya. Akar kata munafik memiliki makna "menggali terowongan." Layaknya seekor tikus yang tinggal dalam sebuah terowongan, kemunafikan sulit ditangkap, karena terowongan memiliki lebih dari satu pintu keluar. Kemunafikan seperti terowongan bawah tanah rahasia, di mana seseorang bisa memasukinya melalui suatu lubang dan keluar dari lubang lainnya. Manusia selalu mencari dalih untuk membenarkan prasangka dan kesalahannyatak pernah ia mau mengakui kesalahannya. Dengan menyadari bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, maka teka-teki berupa susunan yang membingungkan ini akan terpecah-kan. Suatu cara untuk mengurangi kemunafikan adalah dengan merenungkan hati, pemikiran, dan motivasi kita sendiri sebagaimana yang tampak. Sebenarnya, setiap sel dalam tubuh manusia mencerminkan niat yang sesungguhnya. Tak ada sesuatu pun di langit maupun di Bumi yang tersembunyi dari Yang Mahawujud karena Dia Maha Meliputi keduanya, meskipun Dia tetap terpisah dari keduanya.
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
6. Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana yang Dia kebendaki; tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa, MAllahijaksana.
Manusia sendiri adalah sebuah bentuk, sebuah gambar, sebuah perwujudan dari Yang Mahawujud. la merupakan contoh dari Yang Mahawujud, karena dalam dirinya terkandung makna segala sesuatu yang ia alami; ia adalah sebuah mikrokosmos alam. Jika dalam diri seseorang tidak terdapat potensi untuk memahami segala sesuatu yang berada di luar dirinya, bagaimana mungkin ia bisa memahami dunia luar? Dalam diri kita terdapat sebuah dunia kecil yang memungkinkan kita merenungi dunia luar yang makro. Demikianlah bagaimana Dia telah "membentukmu dalam rahim." Akar kata "rahim" (arham) memiliki makna "mengasihi atau menyayangi" (rahima). Rahim dengan fungsi reproduksinya merupakan sebuah perwujudan nyata dan bukti langsung akan rahmat Allah yang tiada putus-putusnya. Kata "rahim" juga berarti "hubungan, pertalian kekeluargaan." Sangatlah penting bagi setiap orang untuk menunjukkan kasih sayang dan kedermawanannya kepada keluarganya. Orang yang telah memeluk Islam, namun keluarganya belum, hendaklah berusaha mendakwahkan akidahnya tersebut kepada keluarganya, bukan dengan cara memaksa mereka, namun dengan bimbingan dan kata-kata yang lembut kapan saja dimungkinkan. Musuh sebenarnya bukanlah keluarganya itu, namun ketidaktahuan akibat terlalu mengikuti kebiasaan yang telah mentradisi dalam keluarga. Perbuatanlah yang salah, bukan orang-orangnya.
Ada tujuh faktor yang dapat mempengaruhi karakter seseorang. Yang pertama berkaitan dengan karakter kedua orang tuanya: tak diragukan lagi bahwa manusia mewarisi sifat fisik dan karakter psikologis dari orang tuanya. Faktor kedua adalah penerapan konsepsi tersebut; hal ini berkaitan dengan kadar cinta di antara kedua orang tuanya dan sejauh mana keakraban hubungan antara keduanya. Faktor ketiga adalah makanan sang ibu dan seluruh keadaan fisik, mental, emosi serta ruhani ketika sang anak tumbuh dalam rahim. Faktor keempat berkaitan dengan kondisi pada saat melahirkan; faktor ini bersifat kritis karena pada saat inilah peralihan alam terjadi. Dilahirkan di bawah sinar lampu yang menyilaukan dalam rumah sakit yang menggelar pertunjukan teater, lalu dikelilingi oleh orang-orang yang tidak dikenal yang sibuk dengan urusannya masing-masing, bukanlah cara terbaik untuk memasuki kehidupan dunia. Secara tradisional, di masa lampau, anak-anak dilahirkan di rumah, di mana sang ibu merasa nyaman dalam lingkungannya sendiri, bersama keluarga yang merawatnya dengan cinta kasih. Faktor kelima adalah perawatan sang anak selama dua tahun pertama, termasuk makanan, cinta kasih, perhatian, dan kehangatan yang diberikan oleh sang ibu, serta cinta kasih yang terjalin antara kedua orang tua dengan sang bayi. Faktor keenam adalah cara pengasuhan anak, pemeliharaan, dan lingkungan sosial di sekelilingnya. Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan kriminal sangat mungkin meniru tindak kejahatan seperti yang ia lihat di lingkungannya, sedangkan seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh cinta kasih, kejujuran, dan harmonis, sangat mungkin mengulangi aspek perilaku yang sama dari lingkungannya itu.
Faktor ketujuh adalah faktor yang paling utama: besarnya tekad dan kejelasan tujuan hidup seseorang. Seseorang boleh jadi secara genetis mewarisi kelemahan atau kecacatan fisik tertentu atau dilahirkan dalam sebuah lingkungan yang kacau. Namun ia menyadari akan hal ini dan memiliki kekuatan serta tekad untuk keluar dari kehidupan seperti itu, menghapus masa lalunya dan berjuang mengatasi berbagai keterbatasan itu.
Manusia seperti gambar holografis: secara potensial ia bisa menjadi cermin dari Yang Mahawujud, asalkan ia mau memilih pilihan ini. Holograf merupakan sebuah gambar yang dihasilkan di atas sebuah piring fotosintesis melalui penggunaan sinar laser; sebuah gambar holografis tidak hanya mencerminkan objek asalnya, tetapi juga bertingkah laku seolah gambar itu adalah obyeknya sendiri. Kemampuan untuk menjadi cermin Yang Mahawujud tergantung pada tingkat keinginan seseorang untuk tunduk, menyerahkan diri, dan taat kepada Allah.
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الألْبَابِ
7. Dialah yang menurunkan al-Kitab kepadamu yang di dalamnya terkandung ayat-ayat yang jelas, itulah pokok-pokok isi Alquran; sedangkan yang lain merupakan ayat-ayat mutaysabih (belum jelas maksudnya). Orang-orang yang hatinya condong mengikuti ayat-ayat mutasyabih, mencari fitnah, dan mencari-cari takwilnya (sesuai pendapat mereka); namun tak ada seorang pun yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepadanya, semuanya itu dari sisi Tuban kami." Tak ada yang dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang bijak-pandai.
Jika Alquran dipahami secara menyeluruh, maka tak ada ketidakjelasan dalam kiasan atau ajaran yang dikandungnya. Alquran "adalah kitab yang jelas yang tidak ada keraguan di dalamnya; keraguan hanya terdapat dalam pikiran orang-orang tertentu karena kebodohan yang menyelimuti mereka.
Kata "induk" (umm) juga berarti "ibu," menunjukkan bahwa ayat-ayat ini merupakan sumber atau induk dari Alquran. Mekah disebut "ibu kota" (umm al-qura) karena merupakan pusat perdagangan. Kata lain dalam Alquran yang memiliki hubungan yang erat dengan kata ini adalah ummi atau "buta huruf" (jamakuya ummiyyin),maknanya orang-orang yang tidak mempunyai kitab suci, khususnya adalah orang-orang Mekah pada masa pra-Islam. Kata ini juga bermakna ketidakmampuan baca-tulis kebanyakan orang-orang Arab pada masa itu. Ummiyyin juga berarti tidak terdidik secara formal, karena Nabi, sesuai tradisi, tidak pernah diajarkan baca-tulis bahkan ketika pewahyuan Alquran telah dimulai. Kendati demikian dikabarkan bahwa Nabi mampu berbicara beberapa dialek Arab dan mengerti beberapa bahasa asing, dan beliau sendiri mendorong upaya pengajaran baca-tulis. Banyak tawanan yang ditangkap oleh kaum muslim ditawari kesempatan untuk menebus dirinya dengan cara mengajarkan kaum muslim baca-tulis. Dikabarkan pula bahwa di setiap masjid dari sembilan masjid yang ada di Madinah ketika itu terdapat satu orang yang selalu siap mengajarkan orang-orang membaca dan menulis.
"Mereka yang hatinya tersesatmenyimpang dengan cara berpaling dari Yang Mahawujud. Melalui ilmu manusia mengetahui bahwa tak ada tempat berpaling dari jalan Allah, karena memang tidak ada jalan lain. Manusia berasal dari Allah, ia dipelihara oleh kemurahan Allah, dan akan kembali kepada Sang Sumber yang Mahakekal. Jika seluruh hatinya tidak menyatu dengan Yang Mahawujud, ia akan selalu berada dalam kebimbangan. Jika hati tidak menyatu dengan kesadaran tersebut maka sang hati akan menjadi bimbang.
Orang-orang yang mempelajari Alquran tanpa mengindahkan etikanya, berupa kerendahan dan keterbukaan hati, tidak akan memperoleh manfaat. Apa yang mereka lihat hanyalah keraguan, yang menambah kebimbangan mereka sendiri. Mereka "mencari fitnah," karena mereka tergoda oleh pesona dunia, sehingga mereka lupa kepada Allah. Jika manusia menyadari hal yang telah membimbangkannya, maka ia akan mampu menghindari hal itu di masa akan datang ketika ia dihadapkan pada situasi serupa.
Tak ada perselisihan ataupun keraguan mengenai jalan yang benar jika seseorang telah sepenuhnya berada di jalan itu. Agama (din) Nabi Muhammad bukanlah untuk diperselisihkan. Mereka yang sepenuhnya Islam, yang telah menyerahkan diri kepada Yang Mahawujud, tidak mungkin berselisih. Perselisihan muncul karena kurangnya keserasian, sehingga tidak selaras. Seseorang yang tunduk kepada Allah berada dalam kekuasaan Allah, sang pemilik keadilan mutlak. Jika seseorang memasuki perselisihan, ini disebabkan karena ia tidak memiliki kearifan ataupun kemampuan membedakan (furqan) situasi tersebut. Islam sesungguhnya adalah rumah kedamaian yang dibangun atas dasar cinta kasih dan keadilan. la memberikan kedamaian kepada para penghuninya dan memberi perasaan tak nyaman kepada orang-orang bodoh dan orang-orang yang mengingkari Allah.
Mereka yang hatinya mengembara menjadi lupa, bimbang, dan berselisih "dengan berusaba memberi penakwilan mereka sendiri." Mereka berbicara menuruti hawa nafsu mereka sendiri, "namun tak ada yang mengetahui penafsirannya kecuali Allah." Tak seorang pun mengetahui asal sesuatu kecuali Dia yang lebih dulu meletakkan akarnya dan "mereka yang mendalam ilmunya." Mereka yang mendalam imannya kepada Allah akan mengetahui lebih jauh makna perwujudan dari Yang Mahawujud. Seluruh kekuasaan, amal, dan sifat-sifat, berasal dari Tuhan dan Sang Pemelihara. Rahmat-Nya meliputi seluruh makhluk.
Ilmu dan kebijaksanaan hanyalah penutup yang bersifat indah dan abstrak dari realitas yang lebih tinggi. Keduanya menghasilkan kesadaran yang lebih luas dan pernahaman yang lebih mendalam. Nabi pernah bersabda, "Pemimpin umat berasal dari keturunanku (ahl al-bayt) dan beberapa sahabatku. Orang yang amalnya jelas, yang lidahnya selalu berbicara benar, yang hatinya lurus, dan yang mengendalikan nafsu perut dan seksualnya adalah orang yang ilmunya dalam." Orang-orang semacam ini tidaklah bimbang ataupun berada dalam keraguan. Kebimbangan merupakan akibat dari ketidaktahuan tentang sebab akibat dan ketidakselarasan antara niat dengan amal. Orang yang bimbang hanya dapat menyalahkan dirinya sendiri, mencari ilmu, dan kemudian berlindung dalam kesabaran tanpa melakukan apa pun.
Ketika Ummu Salamah mendengar Nabi berdoa, "Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku dalam agama-Mu," ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hati bisa berpaling lagi?" "Ya," beliau menjawab, "Allah telah menciptakan manusia dari anak cucu Adam namun hatinya berada di antara dua jari-Nya. Jika Dia menghendaki, Dia akan menjadikannya lurus, dan jika Dia menghendaki, Dia akan menjadikannya menyimpang." Manusia tidak bisa sombong terhadap imannya. Ia tidak dapat mengklaim bahwa ia mengetahui (karena ilmu yang lebih tinggi itu tidak terbatas), atau mengklaim bahwa umunya telah lengkap. Allah berfirman, "Tak ada yang merasa aman dari rencana Allah [yaitu rencana-rencana tersembunyi] kecuali orang-orang yang merugi (Q.S. 7: 99). Ia harus senantiasa waspada dan tekun. Situasi terburuk adalah pada saat memperoleh sedikit ilmu namun secara arogan merasa aman.
Seluruh yang kita alami berasal dari "Tuhan kita" (Rabbana). Tuhan adalah zat yang membimbing kita menuju potensi penuh yang kita miliki. Kata yang berhubungan dengan kata rabb berasal dari akar kata yang sama, yang memiliki makna "mengasuh, mendidik, memperbaiki" (tarbiyah), namun tak ada kata yang pas untuk menerjemahkan kata "rabb" dalam bahasa kita yang dapat menyampaikan ide tentang pengasuhan, dan proses memperoleh kebijaksanaan dan kepuasan melalui bimbingan dan petunjuk dari sifat ketuhanan Allah.
"Tak ada seorang pun yang mengetahui kecuali mereka yang memiliki pernahaman yang sangat mendalam." Kata "pernahaan yang sangat mendalam" (lubb), juga berarti "hakikat, inti," atau "akal budi." Terkadang kata ini berkonotasi pernahaman yang berkaitan dengan hati, namun dalam ayat ini ia memiliki konotasi lebih jauh, yakui pencapaian. Kemampuan untuk mengetahui tergantung pada kemampuan untuk berzikir, untuk mengingat informasi sub-genetik aseli bahwa manusia tergantung pada Allah, yang telah menciptakan cinta kasih. Jika manusia hanya peduli terhadap wujud lahiriah dalam alam dualitas ini, maka ia tidak akan bisa merenungkan Sang Sumber. Seluruh Akufitas kita dalam kehidupan ini secara batini bertujuan menemukan kebenaran, melalui penyerahan diri dan pernahaman.
Beberapa ayat di dalam Alquran memiliki kandungan makna yang bersifat jelas sedangkan sebagian lainnya berbentuk pemmpamaan, sehingga maknanya tampak kurang jelas. Para penafsir Alquran sering memperkirakan apakah ayat-ayat tersebut termasuk kategori mutasyabihat atau tidak. Ketika Alquran diteliti sebagai satu kesatuan maka tidak akan ada ketidakjelasan; memang ada metafora dan simbolisme, namun bukan berarti metafora dan simbolisme itu tidak dapat dipahami: "Inilah ayat-ayat Alquran, ayat-ayat dari kitab yang jelas (Q.S. 27:1). Para tokoh Ahlul Bayt meriwayatkan bahwa "Pernahaman Alquran adalah melalui Alquran itu sendiri, karena sebagian Alquran menerangkan sebagian lainnya." Alquran bersifat lengkap dan mengandung kesatuan makna dalam dirinya.
Allah menjelaskan kepada kita bahwa ayat-ayat yang muhkamat merupakan induk Alquran. Ayat mutasyabihat dapat dipahami dari penjelasan ayat lainnya. Sebagaimana kami nyatakan di awal, kata "induk" juga bermakna "ibu" ataupun "sumber, asal, dasar, hakikat, acuan." Kata lain yang berhubungan erat dengan kata ini memiliki makna "seseorang yang senantiasa bersikap netral terhadap lingkungannya." Kata ini merujuk kepada orang-orang Arab secara khusus, dan karena mereka tidak bisa membaca dan menulis, maka kata ini mengalami perluasan makna menjadi "buta huruf." Ketika kata ini digunakan dalam Alquran (Q.S. 7: 157) untuk menggambarkan Nabi Muhammad, makna sederhananya adalah bahwa beliau tidak dididik dalam pendidikan formal, namun beliau belajar langsung dari kehidupan dan sumbernya, dan karenanya beliau memiliki kemampuan dasar alami untuk "membaca." Penjelasan Alquran tentang ummi juga menegaskan bahwa meskipun Nabi tidak terdidik secara formal, namun otoritas beliau didasarkan atas pengetahuan wahyu.
Salah satu makna takwil adalah "pendapat." Jika, misalnya, pada suatu hari yang mendung seseorang berkomentar bahwa hari tersebut cerah, mungkin yang ia maksud dengan pernyataannya tersebut adalah bahwa hari itu akan menguntungkan baginya. Sebaliknya, sang pendengar mungkin menafsirkan apa yang ia katakan sebagai sindiran tajam, karena langit jelas-jelas mendung. Selanjutnya orang pertama mungkin mengatakan kepada sang pendengar bahwa ia telah salah menafsirkan kata-kata sang pembicara (awwalta kalami). Ini menunjukkan bahwa sang pendengar telah menafsirkan ucapan pembicara sesuai keinginannya. Karenanya, pendapat pribadi dalam menafsirkan Alquran harus diwaspadai. Beberapa ayat tidak boleh ditakwil sedangkan ayat-ayat lain mengandung sejumlah makna yang luas dan mendalam. Dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, banyak sekali perangkap yang dapat menjerumuskan penafsiran Alquran berdasarkan pendapat pribadi.
Contoh jelas dari ayat muhkamat adalah, "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan aias orang-orang Sebelum kalian, agar kalian bertakwa (Q.S. 2: 186). Tak ada keraguan dalam memahami ayat ini dan tak ada perbedaan pendapat tentang maknanya. Contoh ayat mutasyabihat adalah, "Kepada Tuhannyalah mereka melihat' (Q.S. 75: 23). Orang mungkin bertanya bagaimana hal ini mungkin, padahal Allah tidak bisa dilihat, sebagaimana firman-Nya kepada Musa: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku" (Q.S. 7: 143). Seorang alim membolehkan penafsiran ungkapan "melihat Allah" dengan pengetahuan tentang Allah. Ayat terakhir itu (Q.S. 7: 143) mendorong seseorang untuk merenungkan secara mendalam makna "melihat kepada" dalam Q.S. 75: 23, sehingga ia akan menemukan bahwa ungkapan ini juga berarti "mengarahkan perhatian seseorang kepada." Hadis-hadis Nabi juga bisa digunakan untuk memperkuat pernahaman terhadap Alquran. Berkaitan dengan kedua ayat ini sebuah hadis qudsi menyatakan, "Mata-mata Manusia tidak dapat melihat-Ku, namun mata hati hamba yang beriman dapat melihat-Ku."
Banyak ayat yang menggunakan istilah-istilah harfiah maupun kiasan ditafsirkan secara lahiriah dengan kurang hati-hati. Misalnya, kata "singgasana" ('arsy) dalam ayat, "Lalu Dia [Allah] bersemayam di atas arsy' (tsumma istawa 'ala al-arsy, Q.S. 10: 3). Secara lahiriyah, ayat ini menimbulkan kesan dalam pikiran seolah ada seorang raksasa yang bertindak seperti dalang untuk seluruh dunia ini, duduk di atas sebuah singgasana yang besar. Jika kita rnenyelidiki makna kata 'arsy, kita akan menemukan bahwa kata itu bermakna, "yang melandasi segala sesuatu yang tenang," dengan kata lain, kata ini bermakna sebuah fondasi. Contoh lain, disebutkan beberapa kali dalam Alquran, bahwa Allahlah pemilik segala kekayaan. Karena manusia menghargai perhiasannya yang kecil sekalipun, ia mungkin menafsirkan kekayaan Allah dengan sebuah tempat penyimpanan kekayaan yang sangat besar, penuh dengan kekayaan-Nya yang gemerlap. Padahal dalam kenyataannya, kekayaan Allah terdiri atas seluruh makhluk, meliputi apa yang dipahami oleh manusia maupun yang tidak dipahaminya.
Ada sebuah cerita mengenai seorang penanya yang meminta Imam Ja'far al-Shadiq agar menjelaskan suatu ayat pada tiga peristiwa yang berbeda. Pada setiap peristiwa ia menerima jawaban yang berbeda. Akhirnya ia bertanya kepada sang Imam mengenai penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda itu, maka sang Imam nienjawab: "Wahai Jabir, Alquran itu memiliki batas batini, dan pada batas batini tersebut terdapat batas batini lainnya, dan pada batas batini lainnya itu juga terdapat batas batini lainnya lagi, dan demikian seterusnya. Wahai Jabir, tak ada sesuatu yang lebih berharga dari kecerdasan manusia kecuali penafsiran Alquran." Penjelasan Ja'far al-Shadiq ini menunjukkan bahwa banyak ayat dapat ditafsirkan dari sudut yang berbeda-beda dan dengan dimensi spiritual. Meskipun seluruh penafsiran tersebut benar, namun kehati-hatian mesti selalu dilakukan sehingga pendapat pribadi seseorang tidak sampai menutupi makna universal ayat.
Seluruh Alquran merupakan sebuah penjelasan yang terperinci terhadap berbagai aspek Yang Mahawujud. Dalam arti, Alquran bagaikan kehidupan manusia, yang awal, pertengahan, dan akhir, boleh jadi sangat berbeda, namun saling berhubungan. Demikian halnya, kehidupan tiap-tiap orang mungkin saja terlihat sangat berbeda, namun jika kita memandang perbedaan-perbedaan ini sebagai sebuah perwujudan dari suatu realitas yang memiliki batasan-batasan yang tetap, maka kita akan menemukan di dalamnya aturan-aturan tertulis yang tidak bisa diubah, aturan-aturan seperti kelahiran dan kematian. Ada batasan bagi kebebasan yang kita jalankan karena adanya batasan-batasan alami yang telah ditetapkan.
Manusia tidak dapat memahami asal-usulnya kecuali melalui perumpamaan (mitsal) dan perenungan mendalam yang berakhir pada ingatan kepada asalnya. Alquran tidak dimaksudkan untuk membuat kita bimbang, namun seseorang yang hatinya tidak jernih akan memantulkan kebimbangan yang ada dalam dirinya. Hamba Allah tidak melihat hal lain kecuali hanya kejelasan dalam Alquran. Jika ada bagian-bagian tertentu dalam Alquran yang tidak dimengerti, boleh jadi ayat tersebut telah dihapuskan atau mungkin mengandung sebuah aspek syariah yang kurang dikenal. Suatu ayat boleh juga tampak tidak jelas karena ia memang membutuhkan perenungan yang lebih mendalam sebelum makna-maknanya yang beragam saling terjalin.
Pernahaman yang jelas terhadap bagian-bagian tertentu dalam Alquran merupakan dasar bagi pernahaman yang lebih luas: karena pertolongan cahayalah, kita dapat membedakan bayangan-bayangan cahaya. Cara mendekati Alquran adalah dengan menerima apa yang dapat dipahami darinya dan kemudian mengamalkannya; jika hal ini tidak dijalankan, maka orang yang bersangkutan tidak akan mengalami kemajuan. Jika ia tidak mampu menerapkan ajaran-ajaran Alquran ke dalam perbuatan lahiriah, berarti pendekatan kita kepada Alquran salah dan akibat lebih lanjutnya kita akan kehilangan ilmu.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
8. [Mereka berdoa]: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau biarkan hati kami tergelincir setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan kaumiakanlab kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah pemberi karunia yang dermawan."
Orang-orang yang telah merasakan manisnya iman akan berdoa kepada Tuhan sekaligus pemelihara mereka agar hati mereka diberikan petunjuk. Karena telah merasakan manisnya iman dan telah melihat cahaya petunjuk (huda), maka mereka memberikan petunjuk kepada diri mereka sendiri. Doa mereka merupakan cermin dari niat mereka untuk melindungi diri mereka dan menjaga agar hati mereka tetap suci. Mereka memohon kepada Tuhan agar tidak membiarkan mereka tersesat setelah mereka melihat rahmat petunjuk, karena mereka mengakui petunjuk ini sebagai sebuah anugerah dari Allah, yang jika hilang, tidak bisa digantikan oleh apa pun.
ربّنا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لاَّ رَيْبَ فِيهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
9. "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya." Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya.
Orang-orang beriman tak memiliki keraguan sedikit pun terhadap ayat-ayat Allah, mereka pun tidak akan tunduk pada hawa nafsu mereka. Dengan mengingat Hari Pembalasan, mereka senantiasa sadar akan kesementaraan hidup ini. Ingat akan mati merupakan sarana menuju kebebasan dari kekangan nafsu dan dari upaya pembenaran terhadap adat kebiasaan. Memang wajar kita meneruskan adat kebiasaan masa lampau dan mencari alasan serta penjelasan yang tepat mengapa kita melakukannya. Jiwa kita memiliki kepandaian untuk membenarkan apa yang dunginkannya. Tanpa kembali pada Sang Sumber sebagai titik acuannya, orang akan selalu mencari pembenaran bagi segala tindakannya. Titik acuan tersebut hanya bisa dihidupkan jika kita tunduk kepada Allah dan selalu berada dalam keadaan sadar. Jika pada saat marah, syak, tamak, atau bimbang, seseorang mampu meredam segalanya dan beralih kepada ketenangan batin dan ketundukan total, maka ia akan mampu memperbaiki amalnya. Pengendalian emosi dalam diri akan memberikan hasil positif bagi arah kehidupan seseorang.
Ayat ini menegaskan pada kita bahwa mereka yang beriman dan mendalam pengetahuannya (rasikhun fi al-'ilm) senantiasa ingat bahwa mereka akan dikumpulkan pada Hari Pembalasan. Orang yang hidup dalam keadaan selalu ingat seperti ini akan hidup dalam kondisi yang meskipun terpisah dari Sang Pencipta namun selalu berhubungan dengan-Nya dan kapanpun siap menghadapi pengadilan-Nya. la tidak akan diperbudak oleh dunia dengan segala perhiasan dan pesonanya. Ia hidup sebagai seorang yang bebas karena ia hanyalah hamba Allah semata.
إِنَّ اَلَّذِينَ كَفَرُواْ لَن تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلاَأَوْلاَدُهُم مِّنَ اللّهِ شَيْئًا وَأُولَئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ
10. Sesungguhnya orang-orang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikit pun tidak dapat menolak (siksa) Allah. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka.
Jalan hidup yang ditempuh orang-orang beriman berlawanan dengan jalan hidup orang-orang yang kafir terhadap Allah. Orang-orang kafir gagal dalam memahami makna kematian, dan kurang percaya atau bahkan tidak percaya sama sekali akan pembalasan setelah kematian. Siapa pun yang mengingkari bahwa seluruh makhluk berasal, dipelihara, dan bertanggungjawab kepada satu-satunya Sang Pencipta, tidak bisa meminta pertolongan kepada kekayaan ataupun keturunannyaia adalah "bahan bakar api neraka" (waqud al-nar). Seluruh perjalanan hidup manusia di alam fisik ini tunduk pada perubahan yang tiada henti. Karenanya, sebagian orang mencari perlindungan dengan cara menumpuk kekayaan. Tentu saja, pengumpulan harta yang demikian ini boleh jadi menghasilkan perasaan aman atau senang, namun ketika seseorang berhasil mengumpulkan kekayaan materi, maka muncullah perasaan tidak aman dan persoalan-persoalan lainnya.
Pernahaman, ilmu, dan tingkah laku kita sangatlah bergantung pada kondisi hati kita. Semakin keras hati kita, semakin mekanis dan semakin tak terinspirasilah kehidupan kita.