uddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Theravada
orang bodoh saja bisa arahat.....why?
dhammadinna:
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Yang dicontohkan bro williamhalim itulah yang saya maksudkan.
Kalau cuma sekedar teori mungkin kita bisa mengatakan orang bodoh juga bisa begini juga bisa begitu.Tapi dalam keseharian yang saya lihat sendiri.Mereka jauh bahagia dalam hidup karena keadaannya.
Mereka tidak menjadi serakah karena keterbatasan pikirannya.Coba Bro mayvise memperhatikan dan berdiskusi dengan orang bodoh.Coba suruh mereka mencuri dan lihat berapa takutnya mereka.Bahkan lebih besar rasa takut dari pada orang yang pintar/jenius.Kenapa???Orang pintar mempunyai kemampuan berpikir luas dan jauh.mereka melakukan sesuatu dan mencari jalan keluarnya.orang bodoh tidak sampai berpikir seperti itu.
--- End quote ---
Kalau dari pernyataan di atas, saya rasa (mohon dikoreksi bila salah), bro menilai orang bodoh sama dengan orang bijak, dan orang pintar sama dengan orang tidak bijak. Jadi saya rasa kita harus meluruskan pengertiannya dulu. Ada perbedaan antara “bodoh vs pintar” dan “bijak vs tidak bijak”.
1.Bodoh vs pintar: Perbedaan antara bodoh dan pintar adalah dari kecerdasan intelektual (IQ). Contoh: orang bodoh adalah orang yang tidak tamat SD (karena tidak mampu belajar, bukan karena tidak ada biaya), sedangkan orang pintar adalah seorang Cumlaude atau pemenang olimpiade matematika.
2.Bijak vs tidak bijak: Kita tidak menilai seseorang bijak atau tidak dari indeks prestasinya, tapi dari karakternya, dari bagaimana dia bersikap, dan memecahkan masalah. Kalau mau lebih dalam lagi, bagaimana dia mengendalikan pikirannya.
Nah, kita ambil contohnya bro Williamhalim. Sebut saja kenalannya itu dengan A. Si A tidak begitu pintar secara intelektual. Dia tidak tamat SD namun di sisi lain, dia tidak pernah marah, selalu mengalah, tidak pernah membenci, dsb.
Kalau si A tau alasan bahwa marah adalah sesuatu yang buruk, dia tau alasan untuk selalu mengalah, dan dia tau alasan untuk tidak membenci, maka sekalipun dia bodoh secara intelektual, saya katakan dia adalah orang yang bijak.
Tapi kalau si A itu, karena “kepolosannya”, dia selalu mengalah tapi dia tidak tau mengapa dia selalu mengalah. Mungkin karena dia “pecinta damai”. Dia mungkin selalu mengalah atau tidak pernah marah, karena dia takut dan tidak mau terjadi perselisihan dengan orang lain. Bahkan ekstrimnya, dia merasa bahwa gak apa kepentingannya diinjak-injak yang penting dia tidak menambah musuh. Nah, kalau seperti ini, belum bisa disebut bijaksana.
Saya pernah baca, ada seorang gadis yang terkenal sangat baik, manis, dan penolong. Kenapa? Karena dia tidak pernah mengatakan “Tidak”. Ada yang minta tolong, dia selalu menolong kapanpun, dimanapun. Ada yang marah, dia mengalah. Ada yang curhat, dia bersabar mendengarkan sekalipun dia sedang ada urusan penting. Dikatakan dalam cerita itu bahwa gadis itu terkenal seperti seorang peri yang baik hati. Ternyata jauh di lubuk hatinya dia tidak berbahagia. Dia merasa dia tidak pernah menyayangi dirinya sendiri. Dia selalu berkorban untuk orang lain. Dan ketika dia mulai belajar untuk berkata “tidak” pada hal-hal yang tidak bisa dia penuhi, dia pun merasa berbahagia.
Jadi, di sini saya hanya ingin menekankan bahwa bodoh vs pintar, tidak menentukan apakah dia bahagia atau tidak, dan tidak menentukan apakah dia bisa merealisasikan Dhamma atau tidak.
Tapi bijak vs tidak bijak, menentukan apakah dia bahagia atau tidak, dan menentukan apakah dia bisa merealisasikan Dhamma atau tidak.
Kalau misalnya ada orang yang saya suruh mencuri tapi dia gak mau. Jangan buru-buru menilai bahwa karena dia bodoh, maka dia tidak serakah. Tapi mungkin juga dia takut digebukin. Kalau misalnya saya bilang, “tenang aja” gak bakal ketahuan karena saya punya alat canggih ini itu. Ups, dia mungkin mau. Jadi harus tau juga alasan di balik tindakan. Jangan buru-buru menilai.
Akar dari keserakahan adalah keinginan. Semakin besar keinginan, semakin serakahlah jadinya. Bahkan orang bodohpun bisa sangat serakah lho, bukan hanya orang pintar. Kalau misalnya di suatu daerah miskin dan orang-orangnya bodoh. Coba kita bagikan beras, pasti berebutan bahkan ada yang terinjak-injak. Mengapa bisa terjadi? Karena keinginan mereka untuk makan, seringkali tidak terpenuhi. Dan api keinginan ini, makin lama makin besar. Atau ketika lagi nungguin busway dalam keadaan panas dan banyak polusi. Ketika bus datang, langsung dorong-dorongan, tidak peduli orang bodoh atau orang pintar semua mau didahulukan. Jadi intinya, bijak atau tidak bijak, lebih penting diperhatikan, daripada bodoh atau pintar.
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Dan orang bodoh tidak berpikir macam-macam.Orang bodoh yang hidup dalam lingkungan tidak baik sangat susah diluruskan.Begitu juga orang bodoh yang hidup dilingkungan Buddhisme akan susah dibelokkan.
--- End quote ---
Mungkin kalimat ini perlu diperbaiki. Orang yang memegang suatu keyakinan atau prinsip dan dia punya alasan kuat untuk mempertahankannya, dia tidak percaya secara membuta, maka dia tidak mudah dibelokkan. Tapi orang yang memegang suatu prinsip atau keyakinan tanpa punya alasan yang kuat, maka dia mudah dibelokkan.
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Kenapa saya bilang orang bodoh akan mati dalam persaingan???Orang bodoh umumnya mengambil jalan itu cuma lurus saja.Jadi dia jika dia percaya,dia tidak akan berpikir panjang.Sangat mudah ditipu..
--- End quote ---
Kalo yang ini sih, dia mudah ditipu karena kurangnya pengalaman. Coba nanti kalo kena tipu terus, lama-lama dia bisa bikin buku “tips tolak penipu”. Tapi bila dia tidak bijaksana, dia malah belajar jadi penipu.
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Maaf yah,saya masih belajar.Jadi mungkin ada yang bisa melengkapi...:)
--- End quote ---
Ya, saya juga masih belajar. Kalau bro punya banyak pertanyaan yang melintas di benak, tidak apa. Orang kritis itu bagus. Semakin banyak dia menemukan jawaban yang memuaskan, semakin kuat keyakinannya. Tapi ya, jangan melupakan praktik kalau gak nanti pikiran hanya penuh dengan konsep dan teori. Sama seperti dua orang sahabat, Sariputta dan Moggalana. Mengapa Moggallana lebih cepat mencapai pencerahan? Karena sariputta “terlalu banyak mikir”. Tapi itu semua tidak masalah karena selama berada di jalur yang benar, kita akhirnya bisa merealisasikan Nibbana.
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Yang dicontohkan bro williamhalim itulah yang saya maksudkan.
Kalau cuma sekedar teori mungkin kita bisa mengatakan orang bodoh juga bisa begini juga bisa begitu.Tapi dalam keseharian yang saya lihat sendiri.Mereka jauh bahagia dalam hidup karena keadaannya.
Mereka tidak menjadi serakah karena keterbatasan pikirannya.Coba Bro mayvise memperhatikan dan berdiskusi dengan orang bodoh.Coba suruh mereka mencuri dan lihat berapa takutnya mereka.Bahkan lebih besar rasa takut dari pada orang yang pintar/jenius.Kenapa???Orang pintar mempunyai kemampuan berpikir luas dan jauh.mereka melakukan sesuatu dan mencari jalan keluarnya.orang bodoh tidak sampai berpikir seperti itu.
--- End quote ---
Kalau dari pernyataan di atas, saya rasa (mohon dikoreksi bila salah), bro menilai orang bodoh sama dengan orang bijak, dan orang pintar sama dengan orang tidak bijak. Jadi saya rasa kita harus meluruskan pengertiannya dulu. Ada perbedaan antara “bodoh vs pintar” dan “bijak vs tidak bijak”.
1.Bodoh vs pintar: Perbedaan antara bodoh dan pintar adalah dari kecerdasan intelektual (IQ). Contoh: orang bodoh adalah orang yang tidak tamat SD (karena tidak mampu belajar, bukan karena tidak ada biaya), sedangkan orang pintar adalah seorang Cumlaude atau pemenang olimpiade matematika.
2.Bijak vs tidak bijak: Kita tidak menilai seseorang bijak atau tidak dari indeks prestasinya, tapi dari karakternya, dari bagaimana dia bersikap, dan memecahkan masalah. Kalau mau lebih dalam lagi, bagaimana dia mengendalikan pikirannya.
Nah, kita ambil contohnya bro Williamhalim. Sebut saja kenalannya itu dengan A. Si A tidak begitu pintar secara intelektual. Dia tidak tamat SD namun di sisi lain, dia tidak pernah marah, selalu mengalah, tidak pernah membenci, dsb.
Kalau si A tau alasan bahwa marah adalah sesuatu yang buruk, dia tau alasan untuk selalu mengalah, dan dia tau alasan untuk tidak membenci, maka sekalipun dia bodoh secara intelektual, saya katakan dia adalah orang yang bijak.
Tapi kalau si A itu, karena “kepolosannya”, dia selalu mengalah tapi dia tidak tau mengapa dia selalu mengalah. Mungkin karena dia “pecinta damai”. Dia mungkin selalu mengalah atau tidak pernah marah, karena dia takut dan tidak mau terjadi perselisihan dengan orang lain. Bahkan ekstrimnya, dia merasa bahwa gak apa kepentingannya diinjak-injak yang penting dia tidak menambah musuh. Nah, kalau seperti ini, belum bisa disebut bijaksana.
Saya pernah baca, ada seorang gadis yang terkenal sangat baik, manis, dan penolong. Kenapa? Karena dia tidak pernah mengatakan “Tidak”. Ada yang minta tolong, dia selalu menolong kapanpun, dimanapun. Ada yang marah, dia mengalah. Ada yang curhat, dia bersabar mendengarkan sekalipun dia sedang ada urusan penting. Dikatakan dalam cerita itu bahwa gadis itu terkenal seperti seorang peri yang baik hati. Ternyata jauh di lubuk hatinya dia tidak berbahagia. Dia merasa dia tidak pernah menyayangi dirinya sendiri. Dia selalu berkorban untuk orang lain. Dan ketika dia mulai belajar untuk berkata “tidak” pada hal-hal yang tidak bisa dia penuhi, dia pun merasa berbahagia.
Jadi, di sini saya hanya ingin menekankan bahwa bodoh vs pintar, tidak menentukan apakah dia bahagia atau tidak, dan tidak menentukan apakah dia bisa merealisasikan Dhamma atau tidak.
Tapi bijak vs tidak bijak, menentukan apakah dia bahagia atau tidak, dan menentukan apakah dia bisa merealisasikan Dhamma atau tidak.
Kalau misalnya ada orang yang saya suruh mencuri tapi dia gak mau. Jangan buru-buru menilai bahwa karena dia bodoh, maka dia tidak serakah. Tapi mungkin juga dia takut digebukin. Kalau misalnya saya bilang, “tenang aja” gak bakal ketahuan karena saya punya alat canggih ini itu. Ups, dia mungkin mau. Jadi harus tau juga alasan di balik tindakan. Jangan buru-buru menilai.
Akar dari keserakahan adalah keinginan. Semakin besar keinginan, semakin serakahlah jadinya. Bahkan orang bodohpun bisa sangat serakah lho, bukan hanya orang pintar. Kalau misalnya di suatu daerah miskin dan orang-orangnya bodoh. Coba kita bagikan beras, pasti berebutan bahkan ada yang terinjak-injak. Mengapa bisa terjadi? Karena keinginan mereka untuk makan, seringkali tidak terpenuhi. Dan api keinginan ini, makin lama makin besar. Atau ketika lagi nungguin busway dalam keadaan panas dan banyak polusi. Ketika bus datang, langsung dorong-dorongan, tidak peduli orang bodoh atau orang pintar semua mau didahulukan. Jadi intinya, bijak atau tidak bijak, lebih penting diperhatikan, daripada bodoh atau pintar.
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Dan orang bodoh tidak berpikir macam-macam.Orang bodoh yang hidup dalam lingkungan tidak baik sangat susah diluruskan.Begitu juga orang bodoh yang hidup dilingkungan Buddhisme akan susah dibelokkan.
--- End quote ---
Mungkin kalimat ini perlu diperbaiki. Orang yang memegang suatu keyakinan atau prinsip dan dia punya alasan kuat untuk mempertahankannya, dia tidak percaya secara membuta, maka dia tidak mudah dibelokkan. Tapi orang yang memegang suatu prinsip atau keyakinan tanpa punya alasan yang kuat, maka dia mudah dibelokkan.
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Kenapa saya bilang orang bodoh akan mati dalam persaingan???Orang bodoh umumnya mengambil jalan itu cuma lurus saja.Jadi dia jika dia percaya,dia tidak akan berpikir panjang.Sangat mudah ditipu..
--- End quote ---
Kalo yang ini sih, dia mudah ditipu karena kurangnya pengalaman. Coba nanti kalo kena tipu terus, lama-lama dia bisa bikin buku “tips tolak penipu”. Tapi bila dia tidak bijaksana, dia malah belajar jadi penipu.
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Maaf yah,saya masih belajar.Jadi mungkin ada yang bisa melengkapi...:)
--- End quote ---
Ya, saya juga masih belajar. Kalau bro punya banyak pertanyaan yang melintas di benak, tidak apa. Orang kritis itu bagus. Semakin banyak dia menemukan jawaban yang memuaskan, semakin kuat keyakinannya. Tapi ya, jangan melupakan praktik kalau gak nanti pikiran hanya penuh dengan konsep dan teori. Sama seperti dua orang sahabat, Sariputta dan Moggalana. Mengapa Moggallana lebih cepat mencapai pencerahan? Karena sariputta “terlalu banyak mikir”. Tapi itu semua tidak masalah karena selama berada di jalur yang benar, kita akhirnya bisa merealisasikan Nibbana.
K.K.:
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Yang dicontohkan bro williamhalim itulah yang saya maksudkan.
Kalau cuma sekedar teori mungkin kita bisa mengatakan orang bodoh juga bisa begini juga bisa begitu.Tapi dalam keseharian yang saya lihat sendiri.Mereka jauh bahagia dalam hidup karena keadaannya.
--- End quote ---
Misalnya pemakaian AC, bagi orang yang tidak tahu apa-apa yah menikmati saja. Setelah "banyak tahu" bahwa AC itu buruk bagi lingkungan, setiap pakai AC, pikiran kepedulian akan lingkungan menjadi mengganggu, jadi kurang bahagia. Akhirnya AC dimatikan, jadi kepanasan, kurang bahagia juga. Jadi bisa disimpulkan orang bodoh lebih bahagia, begitukah maksudnya?
--- Quote ---Mereka tidak menjadi serakah karena keterbatasan pikirannya.Coba Bro Sis mayvise memperhatikan dan berdiskusi dengan orang bodoh.Coba suruh mereka mencuri dan lihat berapa takutnya mereka.Bahkan lebih besar rasa takut dari pada orang yang pintar/jenius.Kenapa???Orang pintar mempunyai kemampuan berpikir luas dan jauh.mereka melakukan sesuatu dan mencari jalan keluarnya.orang bodoh tidak sampai berpikir seperti itu.
--- End quote ---
Kalau dalam Ajaran Buddha, manakah yang lebih sesuai?
1. tidak berbuat jahat karena ditakut-takuti
2. tidak berbuat jahat karena mengerti akibatnya
--- Quote ---Kalau saya memperhatikan diri saya sendiri.Dan bertanya kenapa bisa melekat pada banyak hal??Karena memuaskan nafsu duniawi saya ,karena panca indera saya.Dan semuanya itu diolah dipikiran.
Saya merasakan benci juga lewat pikiran.Marah,senang dll semuanya diolah di pikiran.Saya bisa mengatakan begini sejak saya belajar mengamati pikiran saya sendiri.Dan saya berpikir bahwa pikiran adalah pusat pabrik-nya.Dan kebijaksanaanlah yang diperlukan untuk mengendalikan pikiran.Dan orang bodoh tidak berpikir macam-macam.Orang bodoh yang hidup dalam lingkungan tidak baik sangat susah diluruskan.Begitu juga orang bodoh yang hidup dilingkungan Buddhisme akan susah dibelokkan.
--- End quote ---
Jika kemampuan berpikirlah yang dianggap masalah, bukankah seharusnya binatang yang lebih sedikit berpikir yang adalah lebih bahagia? Bagaimana pendapat Bro sriyeklina sendiri?
--- Quote from: sriyeklina on 22 February 2010, 12:12:14 AM ---Yang dicontohkan bro williamhalim itulah yang saya maksudkan.
Kalau cuma sekedar teori mungkin kita bisa mengatakan orang bodoh juga bisa begini juga bisa begitu.Tapi dalam keseharian yang saya lihat sendiri.Mereka jauh bahagia dalam hidup karena keadaannya.
--- End quote ---
Misalnya pemakaian AC, bagi orang yang tidak tahu apa-apa yah menikmati saja. Setelah "banyak tahu" bahwa AC itu buruk bagi lingkungan, setiap pakai AC, pikiran kepedulian akan lingkungan menjadi mengganggu, jadi kurang bahagia. Akhirnya AC dimatikan, jadi kepanasan, kurang bahagia juga. Jadi bisa disimpulkan orang bodoh lebih bahagia, begitukah maksudnya?
--- Quote ---Mereka tidak menjadi serakah karena keterbatasan pikirannya.Coba Bro Sis mayvise memperhatikan dan berdiskusi dengan orang bodoh.Coba suruh mereka mencuri dan lihat berapa takutnya mereka.Bahkan lebih besar rasa takut dari pada orang yang pintar/jenius.Kenapa???Orang pintar mempunyai kemampuan berpikir luas dan jauh.mereka melakukan sesuatu dan mencari jalan keluarnya.orang bodoh tidak sampai berpikir seperti itu.
--- End quote ---
Kalau dalam Ajaran Buddha, manakah yang lebih sesuai?
1. tidak berbuat jahat karena ditakut-takuti
2. tidak berbuat jahat karena mengerti akibatnya
--- Quote ---Kalau saya memperhatikan diri saya sendiri.Dan bertanya kenapa bisa melekat pada banyak hal??Karena memuaskan nafsu duniawi saya ,karena panca indera saya.Dan semuanya itu diolah dipikiran.
Saya merasakan benci juga lewat pikiran.Marah,senang dll semuanya diolah di pikiran.Saya bisa mengatakan begini sejak saya belajar mengamati pikiran saya sendiri.Dan saya berpikir bahwa pikiran adalah pusat pabrik-nya.Dan kebijaksanaanlah yang diperlukan untuk mengendalikan pikiran.Dan orang bodoh tidak berpikir macam-macam.Orang bodoh yang hidup dalam lingkungan tidak baik sangat susah diluruskan.Begitu juga orang bodoh yang hidup dilingkungan Buddhisme akan susah dibelokkan.
--- End quote ---
Jika kemampuan berpikirlah yang dianggap masalah, bukankah seharusnya binatang yang lebih sedikit berpikir yang adalah lebih bahagia? Bagaimana pendapat Bro sriyeklina sendiri?
Sostradanie:
Maaf kalau OOT,ada yang bisa tunjukkan cara bagaimana meng-quote per bagian seperti bro Kainyn diatas??Saya tidak tahu caranya.
[at]Kainyn_Kutho n sis Mayvise
Jika kemampuan berpikirlah yang dianggap masalah, bukankah seharusnya binatang yang lebih sedikit berpikir yang adalah lebih bahagia? Bagaimana pendapat Bro sriyeklina sendiri?
Saya tidak pernah mengatakan bahwa kemampuan berpikir menjadi MASALAH.Atau mungkin kata-kata saya kurang cocok yah.Kata otak atau kesadaran mungkin lebih cocok.Bagi yang menganggap kata-kata itu lebih tepat.
Saya ada membaca sutta yang mengatakan bahwa kita menderita karena hidup di masa lalu dan dimasa datang.Tidak hidup dihari ini.Selagi lagi saya minta maaf yah,kalau saya untuk mengingat sutta yang mana.Jujur saya tidak ingat.Saya membaca sesuatu lebih senang mencari maknanya.Jadi tolong jangan ditanya balik ke saya lagi.
Jadi setelah saya membaca sutta itu,saya berpikir dan periksa diri.Dan sutta itu betul sekali.Selama ini yang membuat saya menderita karena berpikir tentang masa lalu dan mengkhawatirkan atau mengejar yang akan datang.Contoh:Jika saat ini saya belum punya rumah.Maka saya berusaha ,bagaimana mewujudkan rumah itu.Kenapa ingin punya rumah??Karena memikirkan banyak hal seperti:bagaimana jika punya anak nanti?Akan susah kontrak sana sini.Dan waktu yang tepat adalah saat belum menikah dan belum punya anak.Karena jika sudah punya anak,biaya akan semakin membesar.
Kira-kira seperti itulah contoh dalam hidup saya.Mungkin bagi sebagian orang yang punya pengalaman berbeda dalam hidup.Tidak akan memahami hal ini.
Saya bandingkan kehidupan saya dengan lingkungan lain yang saya tinggali.Sudah beberapa tahun saya hidup dikampung yang listrikpun tidak ada.Anda tahu tempat tinggal mereka hanya dari papan dengan ukuran 3x4m.Tapi mereka tidak menderita stress seperti yang saya alami.Mereka tetap ketawa walau cuma makan daun ubi hampir setiap hari.Mereka tidak pernah memusingkan hal-hal yang didepan.Mereka tidak stress karena tidak memiliki mobil atau televisi.Mereka hidup apa adanya dan menerima apa adanya.
Menurut bro Kainyn_kutho apakah karena mereka berpikir banyak/rumit/panjang sehingga bisa bahagia seperti itu?Banyak mana pikiran mereka dengan saya??
Saya bandingkan dengan penduduk lain yang masih dikampung itu juga.Menurut saya orang itu pintar.Cuma karena wawasan,pengetahuan dan pendidikan yang tidak ada.Dia cepat belajar.Apa saja yang kita ajarin dia cepat menangkap.Anda tahu apa yang terjadi???Awalnya dia orang yang lugu,tapi begitu dia pintar dan mengerti banyak hal.Bahkan saya sendiripun bisa dia buat terjungkal dalam usaha.Sangat-sangat jauh sekali perbedaannya dengan pertama kali saya kenal.
Anda tahu???Betapa awalnya saya sangat membenci orang itu.Dan semua pikiran buruk pun berjalan dipikiran saya.Saya bukan tidak bisa membalasnya.Saya bisa menghancurkan orang itu lebih parah.Tapi 1hal yang saya sadari,disaat saya merasakan benci dan berpikir buruk.Yang saya rasakan sangat menderita sekali.Apakah anda pernah merasakan hal itu????
Dan setelah membaca banyak hal sejak kenal forum ini.Saya mengerti kenapa orang itu begitu.Karena dia tidak bisa mengendalikan gejolak batinnya.Dia cenderung melepaskan dirinya dengan nafsu keduniawian.
Dari situ saya bisa katakan bahwa pikiran adalah pabriknya.Segala sesuatu hal baik atau buruk itu semua di proses disana.Selanjutnya baru terjadi tindakan.Dan kebijaksanaanlah yang sangat dibutuhkan untuk jadi pengendalinya.Sehingga disaat kita berpikir buruk,kebijaksanaan yang menyadarkan.Disaat kita berpikir baik,kebijaksanaan yang mendorong untuk mewujudkan.
Dan darimana kita dapatkan kebijaksanaan???Pengalamankah,wawasankah,pendidikankah???Apa semuanya itu tidak butuh kemampuan untuk berpikir dan mencerna yang diterima baik secara teori maupun praktek?Dan setelah kita cerna dan kita bisa terima.Selanjutnya apa???Keyakinan kan??
Bagaimana jika orang itu melompat langsung pada proses yakin.Dan menjalankan semua syarat untuk mendapat pencerahan.Apakah itu tidak boleh??Bukankah itu memotong jalur namanya menjadi lebih cepat?
Tapi tidak semua orang bisa seperti itu.karena orang yang biasa bermain dengan pikiran,pasti menerima sesuatu , dipikirkan dulu baru bisa yakin.Karena sudah menjadi kebiasaan jadi susah dirubah.
Maaf kalau OOT,ada yang bisa tunjukkan cara bagaimana meng-quote per bagian seperti bro Kainyn diatas??Saya tidak tahu caranya.
[at]Kainyn_Kutho n sis Mayvise
Jika kemampuan berpikirlah yang dianggap masalah, bukankah seharusnya binatang yang lebih sedikit berpikir yang adalah lebih bahagia? Bagaimana pendapat Bro sriyeklina sendiri?
Saya tidak pernah mengatakan bahwa kemampuan berpikir menjadi MASALAH.Atau mungkin kata-kata saya kurang cocok yah.Kata otak atau kesadaran mungkin lebih cocok.Bagi yang menganggap kata-kata itu lebih tepat.
Saya ada membaca sutta yang mengatakan bahwa kita menderita karena hidup di masa lalu dan dimasa datang.Tidak hidup dihari ini.Selagi lagi saya minta maaf yah,kalau saya untuk mengingat sutta yang mana.Jujur saya tidak ingat.Saya membaca sesuatu lebih senang mencari maknanya.Jadi tolong jangan ditanya balik ke saya lagi.
Jadi setelah saya membaca sutta itu,saya berpikir dan periksa diri.Dan sutta itu betul sekali.Selama ini yang membuat saya menderita karena berpikir tentang masa lalu dan mengkhawatirkan atau mengejar yang akan datang.Contoh:Jika saat ini saya belum punya rumah.Maka saya berusaha ,bagaimana mewujudkan rumah itu.Kenapa ingin punya rumah??Karena memikirkan banyak hal seperti:bagaimana jika punya anak nanti?Akan susah kontrak sana sini.Dan waktu yang tepat adalah saat belum menikah dan belum punya anak.Karena jika sudah punya anak,biaya akan semakin membesar.
Kira-kira seperti itulah contoh dalam hidup saya.Mungkin bagi sebagian orang yang punya pengalaman berbeda dalam hidup.Tidak akan memahami hal ini.
Saya bandingkan kehidupan saya dengan lingkungan lain yang saya tinggali.Sudah beberapa tahun saya hidup dikampung yang listrikpun tidak ada.Anda tahu tempat tinggal mereka hanya dari papan dengan ukuran 3x4m.Tapi mereka tidak menderita stress seperti yang saya alami.Mereka tetap ketawa walau cuma makan daun ubi hampir setiap hari.Mereka tidak pernah memusingkan hal-hal yang didepan.Mereka tidak stress karena tidak memiliki mobil atau televisi.Mereka hidup apa adanya dan menerima apa adanya.
Menurut bro Kainyn_kutho apakah karena mereka berpikir banyak/rumit/panjang sehingga bisa bahagia seperti itu?Banyak mana pikiran mereka dengan saya??
Saya bandingkan dengan penduduk lain yang masih dikampung itu juga.Menurut saya orang itu pintar.Cuma karena wawasan,pengetahuan dan pendidikan yang tidak ada.Dia cepat belajar.Apa saja yang kita ajarin dia cepat menangkap.Anda tahu apa yang terjadi???Awalnya dia orang yang lugu,tapi begitu dia pintar dan mengerti banyak hal.Bahkan saya sendiripun bisa dia buat terjungkal dalam usaha.Sangat-sangat jauh sekali perbedaannya dengan pertama kali saya kenal.
Anda tahu???Betapa awalnya saya sangat membenci orang itu.Dan semua pikiran buruk pun berjalan dipikiran saya.Saya bukan tidak bisa membalasnya.Saya bisa menghancurkan orang itu lebih parah.Tapi 1hal yang saya sadari,disaat saya merasakan benci dan berpikir buruk.Yang saya rasakan sangat menderita sekali.Apakah anda pernah merasakan hal itu????
Dan setelah membaca banyak hal sejak kenal forum ini.Saya mengerti kenapa orang itu begitu.Karena dia tidak bisa mengendalikan gejolak batinnya.Dia cenderung melepaskan dirinya dengan nafsu keduniawian.
Dari situ saya bisa katakan bahwa pikiran adalah pabriknya.Segala sesuatu hal baik atau buruk itu semua di proses disana.Selanjutnya baru terjadi tindakan.Dan kebijaksanaanlah yang sangat dibutuhkan untuk jadi pengendalinya.Sehingga disaat kita berpikir buruk,kebijaksanaan yang menyadarkan.Disaat kita berpikir baik,kebijaksanaan yang mendorong untuk mewujudkan.
Dan darimana kita dapatkan kebijaksanaan???Pengalamankah,wawasankah,pendidikankah???Apa semuanya itu tidak butuh kemampuan untuk berpikir dan mencerna yang diterima baik secara teori maupun praktek?Dan setelah kita cerna dan kita bisa terima.Selanjutnya apa???Keyakinan kan??
Bagaimana jika orang itu melompat langsung pada proses yakin.Dan menjalankan semua syarat untuk mendapat pencerahan.Apakah itu tidak boleh??Bukankah itu memotong jalur namanya menjadi lebih cepat?
Tapi tidak semua orang bisa seperti itu.karena orang yang biasa bermain dengan pikiran,pasti menerima sesuatu , dipikirkan dulu baru bisa yakin.Karena sudah menjadi kebiasaan jadi susah dirubah.
Sostradanie:
[at] Mayvise
Kalau misalnya ada orang yang saya suruh mencuri tapi dia gak mau. Jangan buru-buru menilai bahwa karena dia bodoh, maka dia tidak serakah. Tapi mungkin juga dia takut digebukin. Kalau misalnya saya bilang, “tenang aja” gak bakal ketahuan karena saya punya alat canggih ini itu. Ups, dia mungkin mau. Jadi harus tau juga alasan di balik tindakan. Jangan buru-buru menilai.
Bukankah karena bodoh dia tidak bisa memikirkan alat canggih itu?Dan karena pikirannya yang tidak sampai seperti itulah makanya membantu dia untuk tidak menjadi jahat.Tapi begitu dia menjadi tahu tentang ini itu yang bisa menyelamatkan.Dia menjadi lebih pintarkan??Sehingga dia berani melakukannya.
Dan sepertinya terjadi perbedaan pandangan tentang tingkat kebodohan antara sis dengan saya.Jadi kalau dibahas tidak akan ada selesainya.Karena kita tidak duduk sejajar.Tapi berseberangan.Berlawanan arah.Saya menghargai pandangan sis dan terima kasih atas masukkannya :)
[at] Mayvise
Kalau misalnya ada orang yang saya suruh mencuri tapi dia gak mau. Jangan buru-buru menilai bahwa karena dia bodoh, maka dia tidak serakah. Tapi mungkin juga dia takut digebukin. Kalau misalnya saya bilang, “tenang aja” gak bakal ketahuan karena saya punya alat canggih ini itu. Ups, dia mungkin mau. Jadi harus tau juga alasan di balik tindakan. Jangan buru-buru menilai.
Bukankah karena bodoh dia tidak bisa memikirkan alat canggih itu?Dan karena pikirannya yang tidak sampai seperti itulah makanya membantu dia untuk tidak menjadi jahat.Tapi begitu dia menjadi tahu tentang ini itu yang bisa menyelamatkan.Dia menjadi lebih pintarkan??Sehingga dia berani melakukannya.
Dan sepertinya terjadi perbedaan pandangan tentang tingkat kebodohan antara sis dengan saya.Jadi kalau dibahas tidak akan ada selesainya.Karena kita tidak duduk sejajar.Tapi berseberangan.Berlawanan arah.Saya menghargai pandangan sis dan terima kasih atas masukkannya :)
Sunkmanitu Tanka Ob'waci:
[at] sriyeklina, Sang Buddha mengkategorikan 3 jenis kebijaksanaan, sutta, cinta dan bhavana maya panna.
[at] sriyeklina, Sang Buddha mengkategorikan 3 jenis kebijaksanaan, sutta, cinta dan bhavana maya panna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar